Saya tertarik untuk membuat tulisan ini karena beberapa kali melihat beberapa kasus korupsi yang melibatkan Manajemen Senior/ Direksi yang terjadi di BUMN dan BUMD di Indonesia.
Sebagai internal auditor, saya memiliki dugaan bahwa sebenarnya internal audit actitivity (IAA) / satuan pengawasan internal BUMN/D tersebut mengetahui adanya (setidaknya ada indikasi) kejadian korupsi tersebut. Kalaupun ada kasus korupsi yang diungkapkan IAA, umumnya kasus korupsi tersebut berskala minor dan hanya melibatkan manajemen bawah dan staf, sedangkan kasus korupsi Direksi/ Manajemen Senior cenderung tidak dapat disentuh.
1. Kemungkinan 1: internal auditor sebenarnya mengetahui tetapi pura-pura tidak tahu, karena takut dipecat/ dimutasi/ kehilangan jabatan.
2. Kemungkinan 2: akses internal auditor dibatasi oleh Manajemen, sehingga auditor tidak mampu mengumpulkan bukti yang cukup atas kasus tersebut.
Kondisi di atas merupakan situasi umum yang dihadapi oleh internal auditor BUMN/D di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan Permen tersebut, Manajemen (Direksi - termasuk Manajer Senior sebagai bawahan langsung Direksi) memiliki kendali kuat terhadap aktifitas IAA. Bisa disimpulkan, baik secara administratif (aktifitas sehari-hari) dan secara fungsional (kinerja), IAA bertanggung jawab hanya kepada Direktur Utama, sehingga IAA dalam posisi yang tidak cukup independen untuk melaksanakan tugasnya. Berikut ini analisis kelemahan dari aturan Permen BUMN:
Saran kami, karena sudah ada Standar IPPF dari IIA yang sudah diakui secara internasional, maka baiknya kita merujuk saja tatakelola SPI dalam Standar IPPF tersebut.
Berikut ini saran perbaikan untuk meningkatkan objektifitas dan independensi IAA, sebagai berikut:
Semoga bermanfaat....
Sebagai internal auditor, saya memiliki dugaan bahwa sebenarnya internal audit actitivity (IAA) / satuan pengawasan internal BUMN/D tersebut mengetahui adanya (setidaknya ada indikasi) kejadian korupsi tersebut. Kalaupun ada kasus korupsi yang diungkapkan IAA, umumnya kasus korupsi tersebut berskala minor dan hanya melibatkan manajemen bawah dan staf, sedangkan kasus korupsi Direksi/ Manajemen Senior cenderung tidak dapat disentuh.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin internal auditor BUMN/D tersebut tidak mampu mengungkapkan kasus mega korupsi tersebut.
Jawabannya adalah internal auditor dalam posisi tidak objektif dan tidak independen, yang disebabkan oleh 2 (dua) kemungkinan:1. Kemungkinan 1: internal auditor sebenarnya mengetahui tetapi pura-pura tidak tahu, karena takut dipecat/ dimutasi/ kehilangan jabatan.
2. Kemungkinan 2: akses internal auditor dibatasi oleh Manajemen, sehingga auditor tidak mampu mengumpulkan bukti yang cukup atas kasus tersebut.
Kondisi di atas merupakan situasi umum yang dihadapi oleh internal auditor BUMN/D di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana bisa IAA di Indonesia tidak independen dan objektif?
Jawabnya adalah karena kurang baiknya tata kelola IAA BUMN/D di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER — 01 /MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara. Peraturan tersebut memposisikan IAA di bawah “kendali” Manajemen, dan kurang berinteraksi dengan Komite Audit.Berdasarkan Permen tersebut, Manajemen (Direksi - termasuk Manajer Senior sebagai bawahan langsung Direksi) memiliki kendali kuat terhadap aktifitas IAA. Bisa disimpulkan, baik secara administratif (aktifitas sehari-hari) dan secara fungsional (kinerja), IAA bertanggung jawab hanya kepada Direktur Utama, sehingga IAA dalam posisi yang tidak cukup independen untuk melaksanakan tugasnya. Berikut ini analisis kelemahan dari aturan Permen BUMN:
Area | Aturan Permen PER-01/MBU/2011 | Kelemahan |
Audit Charter | Direksi membentuk Satuan Pengawasan Internal dan membuat Piagam Pengawasan Intern (Charter) | Akibatnya, isi Charter dapat didesain untuk memangkas kewenangan dan tanggung jawab IAA. Akses IAA dibatasi (termasuk jenis audit yang dilakukan). KPI ditentukan sesuai kepetingan Direksi. Charter seharusnya seharusnya berisi tujuan, kewenangan, dan tanggung jawab IAA yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, termasuk KPI. |
Appointment dan Dismissal | Pasal 28: Satuan Pengawasan Intern dipimpin oleh seorang kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama berdasarkan mekanisme internal perusahaan dengan persetujuan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas. | Klausul ini sudah OK, namun klausul ini tidak bisa berdiri sendiri, karena terkait autran lain di Permen. Masalahnya, interaksi IAA dengan Dekom dibatasi oleh aturan lain, sehingga Dekom tidak dapat “mengenal” kinerja Kepala SPI. Akibatnya, Dekom cenderung menerima saja setiap usulan pengangkatan/ pemberhentian Kepala SPI. |
Hubungan Tanggung Jawab | SPI bertanggung jawab secara fungsional dan administrasi kepada Direksi, dan jika Komite Audit ingin mendapatkan laporan kerja SPI, harus melalui Direksi. | Klausul inilah menjadi root cause kelemahan SPI sehingga menjadi tidak objektif dan tidak independen. Klausul ini berimplikasi banyak hal, seperti: terbatasnya interaksi antara SPI dan Komite Audit, laporan hasil audit diubah oleh Manajemen, anggaran dan SDM SPI dipangkas, dll. |
Sumber daya dan Independensi SPI | Tidak diatur secara spesifik. | Karena tidak diatur, maka RKAP, termasuk PKPT (didalamnya ada anggaran, rencana penugasan, SDM, pelatihan), dikendalikan oleh Manajemen. Banyak terjadi, anggaran dan SDM SPI sangat minim, sehingga SPI tidak dapat melaksanakan tugas, pelatihan, pengadaan peralatan, rekrut SDM. |
Remunerasi dan Independensi SPI | Tidak diatur secara spesifik | Karena tidak diatur, maka remenurasi Kepala SPI ditentukan hanya oleh Direktur Utama. |
Komunikasi dan Independensi hasil SPI. | Direksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan fungsi pengawasan intern secara periodik kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas. | Dengan aturan ini, maka Laporan SPI (hasil penugasan dan kinerja SPI) harus melalui Direksi, Ka SPI dibatasi interaksinya dengan Dekom. Efek lainnya, Direksi akan mengsortir dan edit Laporan SPI yang memuat informasi negatif mengenai Direksi/ Manajemen Senior. |
... | Tidak ada klausul mengenai komunikasi SPI dengan Dekom mengenai kecukupan independensi SPI. | Karena tidak diatur, maka Dekom tidak mengetahui apakah hasil audit atau capaian kinerja SPI telah didasarkan pada prinsip objektifitas/ independen atau tidak. (ingat: Permen membatasi interaksi langsungg antara SPI dan Dekom). |
Tanggung jawab dan pelaporan kualitas aktifitas SPI. | Pasal 28: Direksi wajib menjaga dan mengevaluasi kualitas fungsi pengawasan intern di perusahaan. | Kepala SPI melaporkan kinerja /kualitasnya kepada Direksi, namun penilaian akhir ada di tangan Direksi. Ingat, Charter (didalamnya ada KPI) dibuat oleh Direksi dan capaian KPI merupakan ukuran kinerja. Salah satu ukuran kinerja yang dievaluasi oleh Direksi adalah “kerjasama dan kepatuhan SPI kepada Direksi” pada situasi apapun (positif dan negatif). |
... | Permen BUMN No.12/2012, mengatur Komite Audit menilai kinerja dan hasil kegiatan SPI. Namun, Permen tsb tidak mengatur garis hubungan unit Komite Audit dan unit SPI. | Terkait fungsi pengawasan Komite Audit terhadap kinerja SPI, Komite Audit meminta data kinerja dan hasil kegiatan kepada Direktur Utama. Hal ini karena tidak ada hubungan langsung antara Komite Audit dan SPI. |
Monitoring Tindak Lanjut Hasil Aktifitas Internal Audit | Permen tidak mengatur secara jelas mengenai kewajiban SPI terkait monitoring tindak lanjut. UU BUMN Pasal 69: Direksi wajib mengambil langkah-2 diperlukan atas masalah yang diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan SPI. |
Karena tidak ada kewajiban pelaporan monitoring tindak lanjut ke Dekom dan juga karena SPI dikendalikan Direksi, maka sering kali:
|
Lalu, bagaiamana caranya untuk meningkatkan independensi dan objektifitas IAA BUMN/D?
Kalo menggunakan root cause analysis, menurut saya, root cause dari masalah kurangnya objektifias dan independensi SPI adalah peraturan-peraturan yang mengatur tatakelola Pengawasan Intern, termasuk pola hubungan/ interaksi antara SPI dengan Direksi dan Dekom/Komite Audit. Oleh karena itu, peraturan-2 tersebut perlu diubah.Saran kami, karena sudah ada Standar IPPF dari IIA yang sudah diakui secara internasional, maka baiknya kita merujuk saja tatakelola SPI dalam Standar IPPF tersebut.
Berikut ini saran perbaikan untuk meningkatkan objektifitas dan independensi IAA, sebagai berikut:
Area | Saran Perbaikan dengan referensi IIA’s IPPF | Kekuatan |
Audit Charter | Kepala SPI membuat Audit Charter, setelah berdiskusi dengan Direksi, yang kemudian di-approve oleh Dewan Komisaris. | SPI diberi tugas dan tanggung jawab oleh Direksi dan Dekom. Salah satu tugas SPI adalah menilai kinerja Direksi/ Manajemen, dan Komisaris juga memiliki tugas yang sama. Untuk itu, SPI harus didukung kewenangan dan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, dan terbebas dari kemungkinan ada intervensi Direksi. Maka, audit charter seharusnya di susun oleh Kepala SPI (pihak perlu kewenangan untuk melaksanakan tugas) dan disetujui oleh Dewan Komisaris (pihak yang menilai kinerja Direksi). |
Appointment dan Dismissal | Pengangkatan dan pemberhentian Kepala SPI / CAE oleh Direksi setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris/ Board. | Klasul Permen sudah OK sejalan dengan IPPF, namun perlu didukung oleh tatakeloa SPI lainnya. Klausul ini tidak bisa berdiri sendiri, harus ada dukungan dari klausul lainnya. Misalkan terkait kecukupan anggaran dan SDM, kecukupan wewenang, interaksi langsung dengan Dewan Komisaris. |
Hubungan Tanggung Jawab | Laporan / Pertangungjawaban Fungsional kepada Board, dan Laporan / Pertangungjawaban Administratif kepada Direksi. |
Memperbanyak interaksi langsung antara SPI dan Dekom/ Komite Audit. •Meminimalkan risiko intervensi Direksi terhadap hasil penugasan SPI. •Komite Audit dapat secara langsung menilai kinerja/ kualitas dari SPI. Jika SPI tidak berkinerja atau hasil penugasan tidak berkualitas, Komite Audit bisa sarankan Kepala SPI untuk diganti. |
Sumber daya dan Independensi SPI | Board (read: Dekom) menyetujui sumber daya IAA | Untuk meyakinkan bahwa SPI memiliki sumber daya (keuangan, SDM, sistem, peralatan) yang cukup untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini juga meminimal intervensi Direksi untuk membatasi gerak SPI. |
Remunerasi dan Independensi SPI | Board menyetujui remunerasi Kepala SPI | Hal ini juga meminimal intervensi Direksi berupa ancaman penurunan remunerisasi Kepala SPI. |
Komunikasi dan Independensi hasil SPI. | SPI mempunyai full akses secara langsung ke Direksi dan Dewan Komisaris/ Board, termasuk komunikasi Laporan / Pertangungjawaban Fungsional kepada Board / Komisaris, sedangkan komunikasi Laporan / Pertangungjawaban Administratif kepada Direksi. | Lihat “Hubungan Tanggung Jawab” Selain itu, hal lain yang penting adalah, pernyataan Kepala SPI kepada Dekom mengenai kecukupan independensi SPI. Hal ini untuk meyakinkan Dekom bahwa capaian kinerja SPI dan hasil penugasan SPI didasarkan pada prinsip Independensi. |
Tanggung jawab dan pelaporan kualitas aktifitas SPI. | Kepala SPI bertanggung jawab, menilai, dan melaporkan kualitas fungsi pengawasan intern kepada senior management dan dewan komisaris/board, untuk sebagai bahan evaluasi kinerja Kepala SPI. |
|
Monitoring Tindak Lanjut Hasil Aktifitas Internal Audit | Kepala SPI memonitor tindak lanjut hasil aktifitas internal audit, dan melaporkan hasil monitoring ke Dewan Komisaris/ Komite Audit. |
|
Semoga bermanfaat....
0 comments:
Post a Comment